Skip to content Skip to sidebar Skip to footer

Islam Adalah Nama Lain dari Kedamaian


Secara bahasa, kata Islam berasal dari bahasa Arab “salima” yang artinya selamat. Dari kata itu terbentuk aslama, yang artinya menyerahkan diri atau tunduk dan patuh. Sebagaimana firman Allah Swt.; “Bahkan, barangsiapa yang aslama (menyerahkan diri) kepada Allah, sedang ia berbuat kebaikan, maka baginya pahala di sisi Tuhannya dan tidak ada kekhawatiran terhadap mereka dan tidak pula bersedih hati” (al-Baqarah: 112).

Dari kata aslama itulah terbentuk kata Islam. Pemeluknya disebut Muslim. Orang yang memeluk Islam berarti menyerahkan diri kepada Allah dan siap patuh pada ajaran-Nya.

Turunan kata lainnya dari salima adalah salam, atau kedamaian. Maka keislaman seorang Muslim patut dipertanyakan, jika dia tidak menjaga dan menghormati kedamaian sekitarnya. Dengan saudara Muslim maupun non Muslim, bahkan dengan seluruh makhluk Allah. Tulisan singkat ini akan mencoba memperlihatkan bukti damainya Islam dalam ajaran-ajarannya.

Islam dan Pemeluk Agama Lain

Dari awal, Islam sudah menyatakan bahwa agama itu tidak untuk dipaksakan. Firman Allah Swt.: “Tidak ada paksaan untuk (memasuki) agama (Islam)..” (al-Baqarah: 256). Menariknya adalah, lanjutan ayat tersebut berbunyi “..sesungguhnya telah jelas jalan yang benar daripada jalan yang sesat..” (al-Baqarah: 256). Allah Swt. seperti ingin menunjukkan cara berdakwah kepada non Muslim itu bukan dengan memaksa mereka masuk Islam, tapi dengan mengajak mereka berdialog, berdiskusi dan beradu argumen seputar konsep ketuhanan, surga-neraka, kitab suci, kenabian, dan lain sebagainya.

Tentu diskusi dan dialog tersebut harus dengan hikmah, etika, tanpa provokasi. Karena kebenaran jika tidak disampaikan dengan benar, terkadang malah tidak dipahami sebagai kebenaran. Al-Quran menyebut tiga pola dakwahnya dengan hikmahmauizhah hasanah(nasehat yang baik) dan al-jidal al-hasan (debat yang baik). Sebagaimana firman Allah Swt.:
“ادْعُ إِلَىٰ سَبِيلِ رَبِّكَ بِالْحِكْمَةِ وَالْمَوْعِظَةِ الْحَسَنَةِ وَجَادِلْهُم بِالَّتِي هِيَ أَحْسَنُ إِنَّ رَبَّكَ هُوَ أَعْلَمُ بِمَن ضَلَّ عَن سَبِيلِهِ وَهُوَ أَعْلَمُ بِالْمُهْتَدِينَ”
“Serulah (manusia) kepada jalan Tuhan-mu dengan hikmah dan pelajaran yang baik dan bantahlah mereka dengan cara yang baik. Sesungguhnya Tuhanmu Dialah yang lebih mengetahui tentang siapa yang tersesat dari jalan-Nya dan Dialah yang lebih mengetahui orang-orang yang mendapat petunjuk” (al-Nahl: 125).

Khusus untuk poin “tanpa provokasi”, ada satu ayat yang begitu jelas memberikan tuntunan bagaimana menyikapi perbedaan keyakinan dalam agama, yaitu firman Allah Swt.:
"وَلَا تَسُبُّوا الَّذِينَ يَدْعُونَ مِن دُونِ اللَّهِ فَيَسُبُّوا اللَّهَ عَدْوًا بِغَيْرِ عِلْمٍ ..."
“Dan janganlah kamu memaki sembahan-sembahan yang mereka sembah selain Allah, karena mereka nanti akan memaki Allah dengan melampaui batas tanpa pengetahuan..”(al-An’am: 108).

Oleh karena itu, dialog antar agama harus berjalan secara ilmiah, tanpa provokasi dan menghina keyakinan pihak lain. Kita hanya wajib menyampaikan, adapun hidayah adalah hak preogatif Allah Swt., sebagaiman ditegaskan oleh akhir ayat 125 dari surat al-Nahl di atas.

Begitulah kira-kira sikap Islam terhadap pemeluk agama lain dalam konteks akidah dan keyakinan mereka. Adapun dalam muamalah dan interaksi sehari-hari, Islam tidak membedakan Muslim dan non Muslim. Dalam konteks muamalah, Islam meletakkan pondasi-pondasi umum yang sifatnya universal, lintas agama, ras maupun Negara. Seperti mengharamkan riba, penipuan dan perjudian, yang kesemuanya merujuk kepada satu hal yang disebut al-Quran sebagai “memakan harta orang lain dengan batil” (al-Nisa: 161).

Muamalah antara Muslim dan non Muslim dicontohkan langsung oleh Rasulullah Saw., yang mana beliau menggadaikan baju perangnya kepada seorang Yahudi di Madinah. Asalkan tidak menabrak hal-hal yang dilarang syariat, Islam tidak melarang kita bermuamalah dengan non Muslim. Jual-beli, sewa-menyewa, utang-piutang dan semua bentuk interaksi lainnya.  

Dalam berinteraksi, Islam juga tidak lantas melarang kita berbuat baik kepada non Muslim, hanya karena mereka berbeda keyakinan. Al-Quran membahasnya dalam salah satu ayatnya, yaitu:
“لَّا يَنْهَاكُمُ اللَّهُ عَنِ الَّذِينَ لَمْ يُقَاتِلُوكُمْ فِي الدِّينِ وَلَمْ يُخْرِجُوكُم مِّن دِيَارِكُمْ أَن تَبَرُّوهُمْ وَتُقْسِطُوا إِلَيْهِمْ إِنَّ اللَّهَ يُحِبُّ الْمُقْسِطِينَ”
“Allah tidak melarang kamu untuk berbuat baik dan berlaku adil terhadap orang-orang yang tiada memerangimu karena agama dan tidak (pula) mengusir kamu dari negerimu. Sesungguhnya Allah menyukai orang-orang yang berlaku adil” (al-Mumtahanah: 8).

Ringkasnya, Islam bukanlah agama “sektarian” dan menyeru kepada hal itu. Seorang Muslim tidak boleh merasa sombong karena keislamannya atas saudaranya non Muslim. Sikap yang tepat adalah bersyukur kepada Allah karena memberikan hidayah keislaman, dan hal itu tidak ada hubungannya dengan bersikap sombong; “saya Muslim, maka saya lebih baik darimu”. Jadi, walaupun karakteristik agama itu bersifat eksklusif, khususnya dalam konteks keselamatan (surga-neraka), tetap saja hal itu tidak boleh menjadi sumber kesombongan dalam bersikap sehari-hari kepada non Muslim. Apalagi kita pun masih terus berdoa dan berharap untuk dimatikan dalam husnul khatimah, mati dalam keadaan Islam.

Sebaliknya, sebagai Muslim hendaknya kita berbuat baik kepada non Muslim sebagaimana kepada Muslim lainnya, sebagai tetangga, sebagai saudara, rekan kerja atau apapun. Dalam bentuk silaturahim, menjenguk mereka di saat sakit, saling bertukar hadiah, dan sebagainya. Seharusnya realita kebhinekaan kita sebagai warga Indonesia dapat membantu kita untuk berbuat baik bagi semua orang, tanpa pandang suku dan agama.

Islam di antara Pemeluknya

                Nabi Muhammad Saw. memberikan jawami’ul kalim nya (kata yang ringkas dan padat) dalam konteks hubungan antar Muslim, yaitu:
“الْمُسْلِمُ مَنْ سَلِمَ الْمُسْلِمُونَ مِنْ لِسَانِهِ وَيَدِهِ”
“Seorang Muslim adalah orang yang kaum Muslimin selamat dari lisan dan tangannya”(HR. Bukhari).

                 Hadis ini memastikan satu hal, bahwa seorang Muslim yang tidak membuat nyaman Muslim lainnya adalah Muslim yang belum sempurna keislamannya. Karena kaidah interaksi ada dua; berbuat baik dan tidak menyakiti pihak lain. Jika belum bisa berbuat baik kepada sesama, minimal kita tidak menyakiti dan menzalimi mereka. Lebih-lebih kepada sesama Muslim, yang diibaratkan oleh Nabi sebagai satu badan, salah satu organ akan merasakan sakit yang diderita oleh organ lainnya.

                Jika memang seperti itu, sudah selayaknya perbedaan pendapat dalam internal umat Islam tidak menimbulkan perpecahan dan perseteruan. Perbedaan furuk akidah dan perbedaan mazhab/pendapat fikih tidak boleh menjadi penghalang persatuan umat, apalagi hanya karena berbeda ormas dan partai politik, nauzu billahi min zalik.

                Perbedaan fikih seharusnya dibangun dengan konsep “la yunkaru al-mukhtalaf fihi, wa lakin yunkaru al-mujamma’ ‘alaih” (tidak boleh mengingkari hal-hal yang memang ada perbedaan fikih di dalamnya, tapi yang harus diingkari adalah perbedaan dalam hal-hal yang sudah ada ijmak di dalamnya). Kita harus mengingkari seseorang yang salat subuh 3 rakaat, tapi kita tidak boleh mengingkari mereka yang melakukan qunut subuh. Kita harus mengingkari orang yang berpendapat tidak wajibnya zakat, tapi kita tidak boleh mengingkari mereka yang berzakat fitrah menggunakan uang, dan sebagainya. Sudah saatnya kita menyebarkan wawasan fikih khilaf dan adab berbeda pendapat, sehingga konflik tidak produktif yang seharusnya dapat dihindari tidak terjadi lagi ke depannya.  

                Contoh kongkrit dalam hal ini ada pada diri Imam Syafii, pendiri mazhab syafii. Al-Dzahabi dalam Siyar A’lam al-Nubala’ bercerita tentang Abu Musa Yunus al-Mishri, ia berkata: “aku tidak pernah bertemu seseorang yang lebih pintar dari al-Syafii, aku pernah suatu hari berdiskusi dengannya dalam satu masalah, kemudian kami berpisah. Setelah itu, kami bertemu kembali dan al-Syafii memegang tanganku, seraya berkata: “wahai Abu Musa, bisakah kita berteman walaupun kita tidak sependapat dalam satu masalah?”.

                Saya banyak berbicara tentang hal ini, karena pada realitanya, sering terjadi konflik sosial yang timbul dari perbedaan pendapat fikih maupun furuk akidah di kalangan. Sehingga di titik tertentu, hadis Nabi di awal sub bab ini akan ditinggalkan dan dilupakan. Dalam hal ini, sangat penting sekali bagi para ulama, kyai setempat dan para pemimpin ormas, untuk memprakarsai Islam yang damai, Islam yang menghargai perbedaan internal, Islam yang menjaga persatuan.

                Karena akan sangat banyak sekali yang dapat kita lakukan dengan persatuan umat ini, khususnya dalam sosial kemasyarakatan. Jika sudah tidak ada lagi gengsi kelompok dan ormas, sinergi badan amil zakat akan dapat dengan mudah terealisasi, misalnya pembagian ziswa (zakat, infak, sedekah dan wakaf) akan lebih merata dan sebagainya. Sudah saatnya kita lebih mengedepankan kepentingan yang lebih besar, daripada kepentingan kelompok atau golongan.

Etika Perang dalam Islam

Salah satu aspek damainya Islam juga terlihat dalam etika perang yang diajarkannya. Pada dasarnya, Islam menyeru kepada kedamaian. Tapi jika situasi menghendaki adanya perang, Islam akan tetap menjunjung tinggi nilai-nilai kedamaian dan kemanusian. Beberapa etika perang Islam yang kemudian diputuskan oleh PBB di Geneva sebagai kesepakatan dunia, antara lain:

1-Tidak boleh membunuh wanita, lansia dan anak-anak. Hal ini disampaikan Rasulullah setiap mengirim sariyyah (pasukan perang, yang Nabi tidak ikut di dalamnya), sebagaimana diriwayatkan oleh imam Muslim dan Abu Daud.
2-Tidak boleh membunuh para agamawan (pendeta, pastur, rahib dan sebagainya). Dalam satu penggalan hadis yang diriwayatkan imam Muslim, Nabi bersabda: “..dan –jangan bunuh- rahib yang sedang menyendiri (beribadah) di sinagog”.
3-Tidak boleh melakukan tipu muslihat dan mengingkari janji. Rasulullah Saw. dengan tegas menyatakan; “barang siapa yang menjamin keamanan seseorang (dalam perang), kemudian membunuhnya, maka aku terbebas dari si pembunuh (tidak akan membantunya di depan Allah), walaupun yang terbunuh adalah seorang kafir” (HR. Ibnu Hibban). Hal ini juga ditegaskan kembali oleh Umar bin Khattab Ra., saat beliau menjadi khalifah. Suatu waktu, beliau mendengar tentang seorang mujahid yang mengatakan kepada seorang Persia; “jangan takut”, tapi kemudian dibunuh olehnya. Sontak beliau mengirim surat kepada pimpinan pasukan, bersumpah akan menghukum mati siapapun yang melakukan hal itu.
4-Tidak melakukan kerusakan di muka bumi. Al-Baihaqi meriwayatkan pesan khalifah Abu Bakar Ra. kepada para pasukan perang; “jangan tumbangkan pohon kurma atau membakarnya, juga pohon yang berbuah..”.

Di luar itu semua, niat seorang mujahid perang juga harus diperhatikan. Bahwa perang adalah wasilah bukan tujuan. Sehingga saat musuh telah menyerah, kita tidak boleh membunuhnya. Apalagi jika sudah bersyahadat masuk Islam, walaupun kita meyakini hal itu hanya untuk mengelabui. Sebagaimana diriwayatkan oleh imam Bukhari, bahwa Rasulullah Saw. mengingkari perbuatan Usamah bin Zaid Ra. yang membunuh musuh yang telah mengucapkan La ilaha illallah. Musuh tersebut kabur karena kalah perang, dan Usamah dapat mengejarnya. Walaupun telah mengucapkan kalimat tauhid, Usamah tetap membunuhnya, karena ia yakin bahwa si musuh mengucapkannya agar tidak dibunuh, bukan dengan sepenuh hati. Tapi meskipun seperti itu, Nabi tetap mengingkari perbuatan sahabat Usamah. Sampai-sampai Usamah merasa seperti baru masuk Islam lagi pada hari itu. Radhiyallahu ‘anhu.

Dalam konteks sekarang, etika ini bisa diterapkan dalam memahami fenomena ISIS (Islamic State of Iraq and Syam) yang mengaku telah mendirikan khilafah, dengan al-Baghdadi sebagai khalifahnya.

Jika melihat apa yang telah mereka lakukan, dapat dikatakan mereka belum dan tidak merepresentasikan etika Islam dalam perang. Mereka membunuh orang-orang yang bersyahadat, Muslim dalam arti yang sebenarnya, hanya karena tidak memihak dan mendukung mereka. Padahal al-Quran menegaskan, bahwa seorang Muslim yang membunuh Muslim lainnya dengan sengaja akan dijebloskan ke neraka, kekal di dalamnya (al-Nisa: 93).

Walaupun mereka menggunakan bendera hitam dan datang dari “timur”, sesuai petunjuk Nabi dalam salah satu hadisnya (HR. Ibnu Majah), tetap saja perilaku mereka tidak mencerminkan ajaran Nabi Muhammad Saw. Dan jika sudah seperti itu, tentu kita dengan mudah saja mengambil kesimpulan, bahwa mereka tidak mewakili Islam dan Muslimin.

Muhammadiyah sendiri telah menegaskan posisinya dalam hal ini, bahwa dilihat dari konteks kelahirannya, lSlS merupakan gerakan politik radikal yang lahir sebagai reaksi atas situasi politik dalam negeri lrak dan Syria. lSlS bukanlah gerakan Islam, tetapi gerakan politik yang mengatasnamakan lslam untuk merebut kekuasaan politik di lrak dan Syiria. ISIS tidak ada hubungannya dengan persoalan politik di negara-negara lainnya, termasuk di Indonesia. Cita-cita mendirikan Khilafah lslam di bawah kepemimpinan Abu Bakar al-Baghdadi tidak memiliki akar teologis, ideologis dan historis yang kuat berdasarkan al-Qur'an, sunah yang sahih, dan pendapat para ulama yang otoritatif. Berikut beberapa poin sikap Muhammadiyah tentang fenomena ISIS:

1-Menolak gerakan dan faham lslamic State of Iraq and Syria (lSlS) di lndonesia, karena bertentangan dengan prinsip dan nilai-nilai ajaran lslam. Cara-cara kekerasan yang dipergunakan lSlS untuk mencapai tujuan sangat bertentangan dengan ajaran Islam yang mengajarkan perdamaian, kesantunan, dan keadaban, serta dapat membawa kemunduran bagi masa depan peradaban.
2-Muhammadiyah juga menolak gerakan dan faham lSlS, karena bertentangan dengan prinsip idiologi yang terkandung dalam Matan Keyakinan dan Cita-Cita Hidup Muhammadiyah (MKCH), Khittah Muhammadiyah, Pedoman Hidup lslami Warga Muhammadiyah (PHIWM), Pernyataan Pikiran Muhammadiyah Abad Kedua, dan gagasan Indonesia Berkemajuan.
3-Gerakan lSlS yang bertujuan mendirikan kekhalifahan dan menolak Pancasila sebagai Dasar Negara,  jelas brtentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 dan ketentuan hukum yang berlaku di Negara Kesatuan Republik Indonesia. Pemerintah dan pemerintah Daerah hendaknya menolak pendirian lSlS dan organisasi, perkumpulan dan yayasan yang tidak sesuai dengan Undang-undang. Aparatur Keamanan dan penegak Hukum hendaknya menindak tegas setiap perbuatan melanggar hukum untuk menciptakan perdamaian dan menjamin rasa aman bagi seluruh masyarakat lndonesia.
4-Warga Muhammadiyah pada khususnya dan umat lslam pada umumnya, hendaknya tidak terpengaruh oleh dan tidak memberi peluang bagi berkembangnya gagasan dan gerakan ISIS yang hanya akan memecah belah persatuan bangsa dan melemahkan ukhuwah lslamiah.
5-Pimpinan Persyarikatan dan Amal Usaha Muhammadiyah hendaknya mewaspadai setiap bentuk propaganda ISIS dengan melakukan usaha-usaha preventif melalui berbagai kegiatan pengkajian lslam yang luas dan mendalam sesuai faham Muhammadiyah, pembinaan dan peneguhan ideologi melalui Baitul Arqam, dan tetap berkhidmah mencurahkan lebih banyak energi untuk memajukan umat dan bangsa melaiui pendidtkan, pelayanan kesehatan, ekonomi, dan program-program kemanusiaan yang luhur.

Semoga kita semua diberi pemahaman yang benar tentang Islam, agar dapat mengejawantahkan Islam yang benar-benar rahmatan lil ‘alamin, sesuai dengan risalah baginda Nabi Muhammad Saw. Wallahu A’lam bi al-Shawab []

>> makalah ini dipresentasikan oleh bapak saya di satu acara yang mengumpulkan semua ormas di Pati, Jawa Tengah.

Cairo 25/8/2014