Hukum dan Keutamaan Sholat Berjama'ah
حى على الصلاة
حى على الفلاح
Mari tunaikan shalat, mari raih kemenangan
Seorang shahabat
nabi yang punya gangguan pada penglihatan, suatu saat menghadap beliau untuk
minta izin keringanan tidak menghadiri shalat berjama’ah, disamping rumahnya
cukup jauh dari masjid, juga karena tidak ada teman yang menuntun jalannya, hal
mana sangat berat baginya terutama waktu malam dan jalan becek sehabis hujan.
Nabi untuk sementara mengizinkannya, tetapi ketika shahabat tadi berbalik
hendak pulang, nabi memanggilnya kembali sambil bertanya “ Apakah kamu bisa
mendengar seruan adzan ( dari rumahmu ) ? “. “ Bisa “ jawabnya. Nabi
melanjutkan “ Kalau demikian, kamu harus datang berjama’ah “. Hadist ini
menjadi landasan sebagian ulama untuk mewajibkan shalat berjama’h bagi yang
mendengar seruan, terlebih ada hadist lain yang menyatakan bahwa tidak dianggap
shah shalat seseorang yang rumahnya dekat masjid kecuali bila ia shalat di
masjid.
Dikisahkan pula bahwa nabi pernah mengancam akan membakar rumah
orang-orang yang enggan datang berjama’ah, Sebagian pensyarah hadist menyatakan
bahwa ancaman dengan hukuman menunjukkan atas kewajiban yang disia-siakan, seandainya
berjama’ah tidak wajib tentu nabi tidak perlu mengancam membakar rumah segala.
Sebagian ulama
lainnya berpendapat bahwa berjama’ah memang hukumnya wajib, namun wajib
kifayah, kalau sudah ada yang mewakili
datang ke masjid, meski itu hanya imam dan mu’adzin, sudah gugurlah kewajiban
berjama’ah, persis shalat janazah. Sementara sebagian lainnya berpendapat bahwa
shalat berjama’ah hanya sunnah muakkadah, sunnah yang dianjurkan, sayang kalau
ditinggalkan karena banyak keutamaannya. Hadist nabi diatas yang menyatakan
kewajiban berjama’ah bagi yang mendengar seruan, dita’wilkan sebagai seruan
shalat Jum’ah bukan shalat berjama’ah. Jadi yang wajib dihadiri adalah seruan
adzan Jum’ah, bukan adzan shalat lima waktu, sesuai dengan firman Allah dalam
al-Jum’ah “ يا أيها الذين آمنوا اذا نودى للصلاة
من يوم الجمعة فاسعوا الى ذكر الله و ذروا البيع “ Wahai orang-orang yang beriman apabila
kalian diseru untuk shalat pada hari Jum’at hendaknya bersegera menuju
dzikrullah (shalat ) serta tinggalkanlah ( kesibukan ) jual beli “. Begitulah
beberapa pendapat ulama fiqih. Perbedaan yang kita sikapi dengan wajar, sambil
menelaah kekuatan hujjah masing-masing, mana yang terbukti paling kuat ( arjah)
maka pendapat itulah yang mestinya kita pilih.
Sayangnya sebagian
besar ummat salah dalam mensikapi masalah ini, mereka tidak mencari mana yang
lebih kuat dan utama, tetapi mencari celah-celah kemudahan dan keringanan yang
mendukung kemalasannya. Mereka memahami bahwa pada prinsipnya shalat berjama’ah
di masjid tidak wajib, kalau toh kita shalat sendirian di rumah masing-masing,
itu pun sudah shah. Akhirnya mereka enggan ke masjid, yang masih mending, dalam
sehari berjama’ah satu kali waktu maghrib saja. Sebagian lagi hanya ke masjid
sekali seminggu, yakni shalat jum’ah, seperti ahli kitab yang hanya seminggu
sekali ke gereja, yang lebih banyak malah hanya ke masjid/lapangan setahun sekali
atau dua kali saat I’ed, dengan kata lain terbiasa tidak shalat sehari-harinya.
Mungkin akan lebih
bijak pila pendekatan kita tidak semata-mata dari aspek hukum fiqih, tetapi
pendekatan yang komprehansif dan integratif. Nabi seumur hidupnya selalu menghadiri
jama’ah, bahkan saat sakit keras menjelang wafat beliau masih mementingkan
menghadiri jama’ah. Dalam kondisi perang pun ditekankan untuk shalat berjama’ah
( shalat khauf ), kecuali kalau peperangan sedang berkecamuk, maka kita dipersilahkan
untuk shalat sambil berperang. Al-Qur’an memerintahkan agar kita rukuk beserta
orang-orang yang rukuk artinya shalat berjama’ah. " واركعوا مع الراكعين "Mereka yang tidak datang berjama’ah pada zaman nabi ditengarai sebagai
orang-orang munafiq, terutama saat shalat Isya’ dan Shubuh, dua shalat yang
paling berat atas orang-orang munafiq. Tidak menghadiri jama’ah pada zaman nabi
juga dianggap sebagai pelecehan atas kepemimpinan beliau, sehingga beliau
sering mempertanyakan dan mengabsen beberapa shahabat yang tidak hadir berjama’ah
tanpa berita. Keutamaan berjamaah, kita semua sadah mafhum bahwa pahala
berjama’ah 27 kali lipat dibanding sendirian, berjalan ke masjid dianggap
bagian dari ibadah, setiap langkah menggugurkan dosa dan mengangkat derajat,
karena itu nabi tidak mengabulkan permintaan bani salmah yang ingin bedol desa
mendekati masjid nabawi. Salah satu tanda jaminan keimanan seseoerang adalah
manakala ia terbiasa akrab dengan masjid, seorang yang hatinya terikat
dengan masjid kelak pada hari kiamah
akan mendapat naungan Allah bersama-sama enam golongan lainnya. Belum lagi
manfaat sosial yang tidak terhingga dari berjama’ah, seperti persaudaran,
shilaturrahim, ta’aruf dan ta’awun, ajaran persamaan, berlomba dalam kebaikan,
memadukan kekuatan ummat, pelajaran kepemimpinan dan masih banyak lagi.
Akhirnya mari kita
cermati, apa arti panggilan adzan ?. Bukankah itu panggilan menuju kejayaan dan
kemenangan “ Hayya alal falah “ mari meraih kemenangan !, kalau kita enggan
memenuhi panggilan adzan dengan berjama’ah ke masjid, tampaknya kejayaan dan
kemenangan bagi ummat ini masih jauh, lantas apakah kita lebih suka menjadii
pecundang ?, tentunya tidak. Semoga Allah melimpahkan taufiq kepada kita semua.
Amien.
KAJIAN LAINNYA: